Rabu, 27 Januari 2010

Antara Komunikasi dan Da'wah

Pada dewasa ini, ummat muslim membutuhkan penerangan, walaupun nabi Muhammad telah mengeluarkan ummatnya dari kegelapan, akan tetapi manusia tetap membutuhkan kesegaran dan bimbingan hati.

Pada pembahasan kali ini, akan dijelaskan dimensi-dimensi dalam berda’wah dan yang berhubungan dengan komunikasi.

Dalam berda’wah, hendaklah para da’i mengetahui berda’wah dengan baik, mengetahui dengan siapa dia berda’wah? Di mana dia berda’wah? Kapan seorang da’i harus berda’wah? Karena seorang da’i tidak sepatutnya hanya mengetahui tentang ilmu-ilmu agama saja, bahkan metode da’wah adalah sebagian daripada ilmu, selain ilmu-ilmu agama sebagai alat untuk berda’wah kepada orang lain, tetapi juga cara-cara dalam berda’wah merupakan bagian dari berda’wah itu sendiri.

Dalam berkomunikasi, haruslah mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi isi dan dimensi hubungan. Dimensi isi disandi secara verbal dan juga menunjukkan muatan atau isi komunikasi tersebut, yaitu apa yang dikatakan atau yang disampaikan. Sementara dimensi hubungan disandi secara nonverbal yang menunjukkan bagaimana cara mengatakannya yang juga mengisyaratkan bagaimana hubungan para peserta komunikasi itu, dan bagaimana seharusnya pesan itu ditafsirkan.

Pada pembahasan kali ini, akan menerangkan yang berkaitan dengan dimensi komunikasi dan da’wah, sebagaimana yang telah diterangkan sedikit di depan, yaitu dimensi isi dan dimensi hubungan.

Banyak dari pada da’i-da’i yang mendefinisikan da’wah, yang pasti da’wah merupakan suatu aktifitas yang mulia, menjungjung tinggi agama Islam, atau dengan mudah bahwasanya da’wah ialah mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Allah yang bertujuan untuk kemaslahatan dan kebahagian mereka di dunia dan di akhirat,[1] sebagaimana Allah berfirman:

Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmahdan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.[2]

Adapun maksud dari hikmah adalah perkataan yang tegas dan benar membedakan antara yang hak dengan yang bathil.

Da’wah pasti juga merupakan ibadah kepada Allah, kerena untuk menegakkan agama Allah. Walaupun demikian, ibadah, menurut sebagian besar kaum muslimin hanya sebatas bentuk penampilan lahiriah saja, tanpa bathiniyah (ruh) yang man menunaikan ibadah tanpa peduli bahwa Islam adalah juga misi dan da’wah.[3]

Kembali kepada pembahasan, komunikasi adlah suatu faktor yang penting bagi perkembangan hidup manusia sebagai makhlik sosial. Tanpa komunikasi, manusia tidak mungkin dapat berkembang dengan normal dalam lingkungan sosialnya, karena tidak ada manusia yang hidup berkembang dengan tanpa berkomunikasi dengan manusia lainnya.[4]

Seorang muslim harus memiliki akhlaq yang terpuji, baik kepada Allah maupun kepada sesama manusia. Apa yang dihadapkan kepada Allah ialah selalu taat dan patuh terhadap terhadap segala perintah dan larangan-Nya, tidak menyekutukan Dia, tidak takabur, selalu bersyukur atas segala ni’mat-Nya, cinta dan ta’dzim, khusyu’, dan tawadhu’, serta selalu beserah diri dan mengharapakan rahmat dan ridho-Nya. Dari sikap tersebutlah, akan menimbulkan sikap hati-hati, baik dalam i’tikad, maupun dalam ucapan. [5]

Adapun akhlaq social atau akhlaq terhadap sesama manusia ialah sikap jiwa dan tingkah laku, serta budi pekerti yang baik dan mulia menurut tuntunan Agama.[6] Sebagaimana firman Allah:

Artinya: Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.[7]

Artinya: Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.[8]

Adapun di sini dijelasakan tiga karekteristik manusia, yang mana manusia adalah objek utama dalam kegiatan da’wah, berikut penjelasannya:

a. Manusia yang berperilaku dengan Akhlaq-Islamiyyah, yaitu orang yang rajin beribada dan rajin ke masjid. Orang seperti ini harus diutamakan, karena mereka lebih dekat dengan da’wah dan tidak perlu membutuhkan tenaga yang banyak, dan juga tidak kesulitan, Insya Allah.[9]

b. Manusia yang berperilaku dengan Akhlaq-Asasiyah, yaitu orang yang tidak beragama, tetapi tidak dengan terang-terangan dalam berbuat maksiat, karena masih menghormati harga dirinya.[10]

c. Manusia yang berperilaku dengan Akhlaq- Jahiliyyah, yaitu orang yang bukan dari golongan orang yang pertama dan kedua, yang tiak peduli terhadap orang lain. [11]

1. Dimensi Isi

Dimensi isi adalah menunjukkan isi komunikasi, dalam pembahasan ini isi atau muatan yang akan disampaikan ketika berda’wah kepada orang lain.

Seseorang menyukai akan sesusatu, karena isinya sesuai dengan keinginannya atau paling tidak isi dari sesustu itu bagus. Begitu juga da’wah, seorang da’i harus mengetahui kadar isi da’wah yang akan disampaikan kepada orang yang akan dida’wahinya, agar objeknya mudah menerima. Bukan seperti seorang khotib misalnya, yang berkhutbah jum’at tentang bahayanya sekuler-liberal dengan kata-kata yang sukar dipahami pada masyarakat desa pendalaman dan juga dapat disebut masyarakat awam tentang hal tersebut. Seharus seorang khotib menyampaikannya dengan pembahasan yang mendasar dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat desa.

2. Dimensi Hubungan

Sebagaimana yang telah dijelaskan terdahulu, dimensi isi yaitu bagaimana menyampaikan komunikasi dan pesan atau pada pembahasa ini bagaimana menyampaikan da’wah kepada orang lain.

Di sini akan dijelaskan langkah-langkah da’wah yang disesuaikan dengan hadits, diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Rasulullah saw, bahwa beliau bersabda:

“ Hak seorang muslim terhadap muslim yang lain ada enam: jika bertemu maka berilah salam, jika tidak kelihatan maka cari tahulah, jika sakit maka jenguklah, jika mengundang maka penuhilah, jika bersin dan mengucapkan hamdalah maka jawablah (yarhamukallah), dan jika meninggal dunia mak antarkanlah ke pemakaman.”

Pertama, jika bertemu maka berilah salam dan akan semakin indah jika disertai dengan berjabat tangan. Kedua, jika tidak kelihatan maka cari tahulah. Watak sebuah perkenalan adalah jika seseorang yang telah dikenal, kemudian tidak dilihat dalam waktu tertentu, maka harus dicari kabar tentang keadaanya. Ketiga, jika sakit maka jenguklah, yang di dalamnya terdapatdo’a dari si penjenguk terhadap yang dijenguk. Keempat, jika diundang maka penuhilah, yang ini merupakan langkah yang mempererat hubunga antara manusia. Kelima, jika bersinmaka jaawblah “yarhamukallah”. Dan yang keenam, jika meninggal dunia maka antarkanlah ke tempat pemakamannya.[12]

Begitulah langkah-langkah seorang da’i dan harus mengnggap bahwa da’wah adalah kegiatan yang mengarah kepada kesosialan. Juga merupakan suatu keharusan bagi seorang da’i untuk mengetahui dimensi-dimensi dalam da’wah dan tidak bisa dilepaskan dengan kegiatan komunikasi.

DAFTART PUSTAKA

Al-Qur’an

Arifin, Muhammad, Psikologi Da’wah; Suatu Pengantar Studi, (Jakarta: Bumi Aksara), 1991

As-Siisiy, Abbas, Bagaimana Menyentuh Hati; Kiat-kiat Memikat Objek Da’wah, (Surakarta: Era Intermadia), 2000

Noor, Farid Ma’ruf, Dinamika dan Akhlaq Da’wah, (Surabaya: Bina Ilmu), 1981

Omar, Toha Yahya, Ilmu Da’wah, (Jakarta: Wijaya), 1967



[1] Prof. Toha Yahya Omar, M. A, Ilmu Da’wah, (Jakarta: Wijaya, 1967), p. 1.

[2] Q. S. An-Nahl:125.

[3] Abbas As-Siisy (Kata pengantar penulis), Bagaimana Menyentuh Hati, Kiat-kiat Memikat Objek Da’wah, (Surakarta: Era Intermedia, 2000).

[4] Prof. H. M. Arifin, M. Ed, Psikologi Da’wah, Suatu Pengantar Studi, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), p. 71.

[5] Farid Ma’ruf Noor, Dinamika dan Akhlaq Da’wah, (Surabaya: Bina Ilmu, 1981), p. 115.

[6] Ibid.

[7] Q. S. Al-Qoshos:77.

[8] Q. S. Al-Furqon: 63.

[9] Abbas As-Siisy, Bagaimana Menyentuh Hati, Kiat-kiat Memikat Objek Da’wah, (Surakarta: Era Intermedia, 2000), p. 32.

[10] Ibid.

[11] Ibid, p. 32-33.

[12] Ibid, p. 54-56.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar